Mahasuci Allah yang telah menganugerahi manusia dengan berbagai keunggulan dan potensi kecerdasan yang luar biasa, akal untuk memaksimalkannya serta menggunakannya hingga benar-benar berdaya, hati untuk mencerahkan dan mensucikannya, rasa untuk memperindahnya dan anggota tubuh untuk mengekspresikan dan membuatnya bermanfaat bagi sesama.
Setiap manuasia dilahirkan diatas fitrah, siapapun orangnya, dimanapun, dalam kondisi dan kedudukan apapun ia sekarang, bahkan seorang durjana yang bejat atau sewenang-wenang sekalipun, saat terlahir ia sama-sama berada dalam kondisi fitrah. Setiap manusia telah diciptakan dalam kondisi pembentukan yang paling baik.
Fitrah berarti kesucian, kebaikan dan keindahan, sebuah kondisi sebelum cemar oleh kotoran atau kenistaan jenis apapun. Karenanya tak satupun manusia yang berdosa saat lahir. Dosa baru terjadi ketika seseorang sudah mulai memproses dan memilih jalan hidup, saat ia mulai besar dan tumbuh dewasa. Fitrah mencakup semua makna positif, termasuk kesempurnaan dan kecerdasan. Karenanya pula, sesungguhnya semua manusia dilahirkan dalam keadaan cerdas.
Namun, dalam realitas yang kita lihat dan alami, mengapa banyak orang yang kurang atau tidak cerdas, bodoh bahkan idiot, jahat dan perusak dunia? Salah satu jawaban yang bisa diberikan yaitu adanya interaksi buruk dengan kedua orang tua, sehingga terjadinya penyimpangan seseorang dan fitrah-fitrahnya. Dan interaksi itu tidak hanya berlangsung setelah seseorang lahir, melainkan sudah dimulai sejak masing-masing dari orangtuanya memilih jalan dan gaya hidup, menentukan pasangan, lalu saling berhubungan, memperlakukan dan memproses pertumbuhan anak-anaknya.
Siapakah orangtua itu? Orangtua tidak selalu bermakna fisik dan biologis, tidak selalu dipahami sebagai ayah dan ibu kandung. Dalam makna luas, ibu dan ayah berarti lingkungan yang berpengaruh kuat terhadap tumbuh-kembang seorang anak. Dan semua lingkungan itu selalu mengandung dua dimensi. Dalam konsep tasawuf, kedua dimensi itu disebut dengan Dimensi keindahan (kelembutan, hati, intuisi, perasaan dan sejenisnya) dan Dimensi keagungan (kesempurnaan, kekuatan, keperkasaan, kekerasan, akal dan pikiran). Lebih mudahnya yaitu dimensi yang mencakup semua unsur keibuan dan unsur keayahan. Unsur-unsur keibuan dan keayahan itu didapatkan oleh seseorang dari lingkungan sekitarnya, dimana pun, dan dalam bentuk apapun.
Jika semua unsur tersebut yang melekat disekitarnya tidak berhasil dimaksimalkan untuk membesarkan, mengembangkan dan mendidik seorang anak, maka anak itu akan tumbuh menjadi manusia yang kurang atau tidak cerdas. Sebaliknya, jika unsur-unsur tersebut berhasil dieksplorasi secara maksimal dan benar, maka ia bukan saja tumbuh menjadi pribadi yang benar-benar cerdas sesuai fitrahnya, melainkan juga ia akan bisa melesatkan kecerdasan dan kesempurnaannya dalam wujud yang luar biasa. Menjadi insan kamil yang mengagumkan.
Jadi, manusia yang tumbuh tidak cerdas itu disebabkan karena fitrah kecerdasannya tidak tergali, tidak terolah, tidak tersalurkan dan tidak terkembangkan secara benar dan maksimal oleh lingkungannya. Termasuk lingkungan adalah ayah-ibu, saudara, keluarga, teman, pergaulan, sekolah, masyarakat, bacaan, media informasi, tontonan, sistem politik, pendidikan, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Sudahkah kita sejenak berpikir, potensi manakah yang sesungguhnya sedang kita kelola dan jalankan ini, akankah kesucian dan kemurnian yang ada pada diri ini dengan begitu mudahnya ternoda atau sengaja kita kotori? kanvas putih terbentang di depan sana, kitalah yang memberikan warnanya, kita pula yang memberi arti dari warna tersebut, apakah akan penuh warna atau satu warna…apakah hitam atau putih…
Begitu pula dengan kebersihannya, akankah akan tetap terjaga putih bersih atau mulai terkotori dan ternoda…